Senin, 09 Desember 2013

ops



1.      Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang harus diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungan – anjungan pengeboran minyak lepas pantai. dan juga karena semakin meningkatnya transportasi laut.

Berdasarkan PP No.19/1999, pencemaran laut diartikan sebagai masuknya/ dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) mengartikan bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merusak sumber daya hayati laut (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas air laut dan mutu kegunaan serta manfaatnya (Siahaan, 1989 dalam Misran, 2002

A. Sumber Pencemaran Minyak di Laut
Menurut Pertamina ( 2002), Pencemaran minyak di laut berasal dari : 
1. Ladang Minyak Bawah Laut; 
2. Operasi Kapal Tanker; 
3. Docking (Perbaikan/Perawatan Kapal); 
4. Terminal Bongkar Muat Tengah Laut; 
5. Tanki Ballast dan Tanki Bahan Bakar; 
6. Scrapping Kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua); 
7. Kecelakaan Tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan); 
8. Sumber di Darat (minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung hydrocarbon ( perkantoran & industri ); 
9. Tempat Pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery )

B. Dampak dari Pencemaran Minyak di Laut
Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar (Fakhrudin, 2004). Sumadhiharga (1995) dalam Misran (2002) memaparkan bahwa dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang.

1. Akibat jangka pendek.
Molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.

2. Akibat jangka panjang.
Lebih banyak mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.

Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Menurut Fakhrudin (2004), lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. 
  1. Perda Prov. Bali No. 6 Th 2009 tentang RPJPD Prov. Bali Th 2005-2025
Dalam RPJPD, pemerintah daerah Bali tidak menempatkan isu lingkungan dalam arah pembangunan daerahnya. Namun, dalam perda ini terdapat kajian mengenai sarana dan prasarana untuk mendukung  pembangunan bidang pariwisata dan tantangannya sebagai berikut:
a. Kondisi Umum Ekonomi Bidang Pariwisata
Selama 20 tahun terakhir, rata-rata jumlah kunjungan wisatawan mancanegara langsung ke Bali per tahun selama kurun waktu 2000-2005 mencapai 1.386.448 orang dengan jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2004 yakni sebanyak 1.457.565 orang. Rata-rata tingkat hunian kamar berdasarkan klasifikasi hotel per tahun selama lima tahun terakhir adalah 48,51%, di mana pada tahun 2005 untuk hotel bintang satu sebesar 39,68%, hotel bintang dua sebesar 38,08%, hotel bintang tiga sebesar 36,62%, hotel bintang empat sebesar 43,22%, dan hotel bintang lima sebesar 49,14%.
b. Sarana dan Prasarana Pengelolaan Limbah
Penanganan air limbah dilakukan secara komunal dan sistem perpipaan. Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL) 20.210 unit dengan jumlah Instalasi Pengelolaan Limbah Terpadu (IPLT) sebanyak 7 unit tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota. Pengelolaan air limbah dengan sistem perpipaan melalui Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) dengan wilayah pelayanan meliputi Denpasar, Sanur dan Kuta serta penanganan air limbah secara regional lainnya adalah IPAL Regional Ubud.
c.  Tantangan
·         Tantangan penanganan air limbah 20 tahun kedepan adalah sistem penanganan secara terpusat pada kawasan tertentu dengan jumlah penduduk padat serta kegiatan ekonomi tinggi melalui sistem perpipaan. Tantangan lainnya adalah kesadaran masyarakat terhadap penanganan limbah masih rendah.
·         Tantangan pengelolaan persampahan 20 tahun kedepan di Provinsi Bali adalah meningkatnya volume sampah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Penanganan sampah dengan TPA yang representatif yang tidak berdampak terhadap pencemaran lingkungan, dilakukan secara parsial dan harus terlaksananya 3R (reduce, reuse, recycle) dengan baik dan masih sedikit masyarakat yang melakukan pengelolaan sampah mandiri.
·         Tantangan pengelolaan sumberdaya alam 20 tahun kedepan adalah pemanfaatan yang belum berbasis pada pembangunan berkelanjutan yang mampu memberikan manfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Bali. Tantangan dalam hal pencemaran media lingkungan adalah meningkatnya akumulasi cemaran pada media air, tanah, dan udara karena masih rendahnya kesadaran dan peran masyarakat, lemahnya pengawasan serta penegakan hukum lingkungan terhadap pelaku pencemaran lingkungan.
2.   Perda No.4 Th 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Bab I Pasal 2, disebutkan bahwa pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup berasaskan pelestarian fungsi lingkungan hidup dengan menjunjung tinggi peranserta masyarakat dan nilai-nilai Tri Hita Karana, dan bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran, kerusakan, serta memulihkan kualitas lingkungan hidup.
Bab III tentang Wewenang dan Tanggungjawab pada Pasal 8, disebutkan bahwa Gubernur berwenang melakukan koordinasi dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup terhadap Bupati/Walikota terkait. Pada Bab VII tentang Pengawasan disebutkan bahwa tugas pengawasan juga menjadi amanah Gubernur mencakup pemantauan penataan persyaratan perizinan dan pemeriksaan contoh limbah dan spesimen secara berkala dan insidental baik di lapangan maupun di laboratorium. Biaya-biaya pemeriksaan laboratorium terhadap contoh limbah dibebankan kepada :
·         Penanggungjawab Usaha sebagai kewajiban untuk pemeriksanaan secara berkala sesuai dokumen lingkungan hidup;
·         Anggaran pendapatan dan belanja Daerah atau sumber-sumber dana lain yang sah untuk pemeriksanaan yang dilakukan oleh Instansi
Bab IV tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Pasal 12, disebutkan bahwa Setiap Penanggungjawab Usaha dilarang membuang limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin dari Gubernur, dan izin sebagaimana dimaksud harus memuat persyaratan untuk melakukan upaya pengendalian pencematan dan perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 13 disebutkan bahwa Setiap Penanggung jawab Usaha yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah sesuai dengan peraturan perundnag – undangan yang berlaku. Pasal 14 kemudian menjelaskan bahwa setiap Penanggung jawab Usaha yang kegiatannya mengandung potensi limbah yang mencemari dan merusak lingkungan harus menyediakan dana lingkungan, dan besaran dana lingkungan diatur dengan Peraturan Gubernur setelah mendapat Rekomendasi DPRD.
Bab V pasal 15 menentukan bahwa Setiap Penanggungjawab Usaha yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagai akibat pembuangan limbah wajib (a). memiliki sistem tanggap darurat; (b). memberikan informasi tentang sistem tanggap darurat kepada pemberi izin dan masyarakat luas; dan (c). melakukan upaya penanggulangan.
Bab VI pasal 17 menyebutkan bahwa Penangungjwab jawab Usaha wajib menanggung biaya penanggulangan dana/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Bab X tentang Ketentuan Pidana disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal, 15, pasal 17, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud adalah pelanggaran.
2.       

Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut , lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat, selain akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada tumbuhan laut yang ada.

Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutam mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.

Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa minyak yang terperangkap di dalam habitat berlumpur tetap mempunyai pengaruh racun selama 20 tahun setelah pencemaran terjadi. Komunitas dominan species Rhizophora mungkin bisa membutuhkan waktu sekitar 8 (delapan ) tahun untuk mengembalikan kondisinya seperti semula (O'Sullivan & Jacques, 2001 ).

Ekosistim terumbu karang juga tidak luput dari pengaruh pencemaran minyak . Menurut O'Sullivan & Jacques (2001), jika terjadi kontak secara langsung antara terumbu karang dengan minyak maka akan terjadi kematian terumbu karang yang meluas. Akibat jangka panjang yang paling potensial dan paling berbahaya adalah jika minyak masuk ke dalam sedimen. Burung laut merupakan komponen kehidupan pantai yang langsung dapat dilihat dan sangat terpengaruh akibat tumpahan minyak . Akibat yang paling nyata pada burung laut adalah terjadinya penyakit fisik (Pertamina, 2002). Minyak yang mengapung terutama sekali amat berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang di atas permukaan air, seperti auk (sejenis burung laut yang hidup di daerah subtropik), burung camar dan guillemot ( jenis burung laut kutub).

Tubuh burung ini akan tertutup oleh minyak, kemudian dalam usahanya membersihkan tubuh mereka dari minyak, mereka biasanya akan menjilat bulu-bulunya, akibatnya mereka banyak minum minyak dan akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan minyak yang menempel pada bulu burung, maka burung akan kehilangan kemampuan untuk mengisolasi temperatur sekitar ( kehilangan daya sekat), sehingga menyebabkan hilangnya panas tubuh burung, yang jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan nafsu makan dan penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.

Peristiwa yang sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak ( Farb, 1980 ). Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989 dalam Misran 2002). .

Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka timbullah upaya-upaya untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya tersebut oleh negara-negara di dunia. Diakui bahwa prosedur penanggulangan seperti: pemberitahuan bencana, evaluasi strategi penanggulangan, partisipasi unsur terkait termasuk masyarakat, teknis penanggulangan, komunikasi, koordinasi dan kesungguhan untuk melindungi laut dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat menjadi poin utama dalam pencegahan dan penanggulangan pencemaran minyak. Untuk melakukan hal tersebut, tiga hal yang dapat dijadikan landasan yaitu aspek legalitas, aspek perlengkapan dan aspek koordinasi.

Sejak September 2003 Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai dan Laut (GBPL). Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah mengalami pencemaran. Dengan gerakan ini diharapkan bukan hanya didukung oleh pemerintah dan masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia.

[KFBAS/V/berbagai sumber]
4.

Perbatasan Indonesia dan Contoh Permasalahan yang Dihadapi

SalaIndonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.h Satu Contoh Permasalahan yang Dihadapi
Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sek
Salah Satu Contoh Permasalahan yang Dihadapi
Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hanpir disetiap negara sering terjadi konflik antar negara lebih banyak terpokus pada persoalan perbatasan. 
Di Indonesia sendiri soal perbatasan antar wilayah batas negara dengan negara tetangga lainnya hingga sekarang masih belum terselesaikan dengan tuntas. Pesoalan perbatasan di Indonesia dengan negara-negara tetangganya sering kali terjadi kesalahpahaman, dan hal itu sering terjadi pelanggaran yang banyak dilanggar oleh negara-negara tetangga, seperti batas wilayah perbatasan antara Indonesia Malaysia, Indonesia Singapura, Indonesia Philipina, Indonesia Papuanugini, Indonesia Timor Leste, dan Indonesia Australia.

Pelanggaran perbatasan batas suatu negara sering terjadi dilakukan oleh tingkah laku politik berkepentingan oleh salah satu negara perbatasan yang melibatkan warga masyarakat di perbatasan, militer dan perubahan peta perbatasan yang sepihak oleh negara yang menginginkan suatu perluasan wilayah yang banyak memiliki kandungan sumber alam.

Di Indonesia sendiri hal tersebut diatas sering terjadi semacam itu, dan biasanya selalu dimulai dengan provokasi ganda yang dilakukan oleh negara tetangganya. Baik dengan cara penyerobotan batas wilayah perbatasan dengan invansi militer, penghilangan tanda bukti batas perbatasan, pembangunan ilegal sebuah bangunan atau kawasan yang dibangun melebihi batas negara yang telah disepakati, atau juga adanya perubahan peta perbatasan yang sepihak yang dilakukan oleh negara bersangkutan (salah satu negara tetangga yang berkeinginan untuk memperluas wilayah teritorialnya dengan melakukan perubahan peta internasional soal tanda batas garis perbatasan wilayah negara secara ilegal dan sepihak).

Malaysia Pelanggar Perbatasan Indonesia Terbanyak:

Ditahun 2008 - 2009, pelanggaran perbatasan nagara Indonesia dengan negara tetangganya sering banyak dilanggar oleh Malaysia. Ini terbukti dengan adanya pelanggaran perbatasan wilayah negara masih terus dilakukan oleh negara tetangga. Malaysia yang paling sering melakukan pelanggaran batas wilayah RI.
Hal itu terungkap pada rapat kerja (raker) Komisi I dengan menteri-menteri di jajaran Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), di Jakarta, Senin (2 Maret 2009).  Menkopolhukam Widodo AS (pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode I)  itu memaparkan tentang berbagai pelanggaran terhadap wilayah RI yang terjadi dalam kurun waktu Januari hingga Desember 2008.
Dari catatan Kementrian Polhukam, Provinsi Kalimantan Timur adalah wilayah RI yang paling sering mengalami pelanggaran wilayah oleh negara lain. Untuk pelanggaran wilayah perbatasan perairan Indonesia, di perairan Kalimantan Timur dan seputar Laut Sulawesi telah terjadi 21 kali pelanggaran oleh Kapal Perang Malaysia dan enam kali oleh Kapal Polisi Maritim Malaysia.
Sementara di perairan lainnya sebanyak tiga kali, ucapnya. Dalam raker yang juga dihadiri Menteri Pertahanan, Kepala BIN, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri itu, Widodo mengungkapkan, pelanggaran wilayah perbatasn udara paling banyak terjadi juga di wilayah Kalimantan Timur.
Selama 2008, terjadi 16 kali pelanggaran wilayah udara di Kaltim, sebutnya. wilayah lain yang juga mengalami pelanggaran kedaulatan udara antara lain tiga kali di Papua, dua kali di wilayah Selat Malaka dan tujuh kali di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sementara untuk pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan patok-patok batas wilayah di Kalimantan Barat. Pemindahan patok batas terjadi di Sektro Tengah, Utara Gunung Mumbau, Taman Nasional Betung Kerihun, Kecamatan Putu Sibau, serta Kabupaten Kapuas Hulu, kata Widodo. Selain itu, mantan Panglima TNI ini melanjutkan, pelanggaran wilayah perbatasan darat juga dilakukan oleh para pelintas batas yang tidak memiliki dokumen yang sah.
Pada raker yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga itu, Widodo juga menjelaskan perihal berbagai tindakan atas pelanggaran kedaulatan wilayah RI. Untuk pelanggaran wilayah darat, Departeman Luar Negeri RI telah mengirimkan sejumlah nota protes ke negara pelanggar. Kasus pelanggaran wilayah darat juga dibawa ke forum Genera Border Committe (GBC) Indonesia-Malaysia maupun Joint Border Committe (JBC) Indonesia-Papua Nugini. Dan untuk pelanggaran wilayah perairan dan udara nasional, telah direspon dengan pengusiran langsung oleh satuan operasional TNI, serta pengiriman nota protes oleh Deplu, tutur Widodo. (beritahankam).

Ditahun 2010, tepatnya di bulan Agustus 2010 yaitu sebanyak tiga orang petugas dari KKP ditangkap oleh polisi perairan Malaysia setelah menangkap tujuh nalayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Tiga orang petugas dari KKP kemudian ditahan di Malaysia dan mereka dibebaskan dengan cara diberter dengan tujuh nelayan Malaysia.
Dalam peristiwa ini spontan mendapat banyak protes dari waga negara Indonesia, dan termasuk protes keras dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Fadel Muhammad mengatakan Malaysia meremehkan Indonesia dengan memperlakukan tiga petugas dari kementeriannya yang ditangkap polisi air Malaysia kurang layak.
“Tiga orang petugas dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang ditangkap polisi air Malaysia ditahan dikantor polisi Malaysia, dipakaikan pakaian tahanan, dan pada saat keluar ruangan tangannya diborgol,” kata Fadel Muhammad pada diskusi polemik “Indonesia-Malaysia: Serumpun tapi Tidak Rukun” di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, perlakuan polisi Malaysia itu meremehkan Indonesia. Apalagi tiga orang tersebut adalah petugas resmi yang ditangkap saat menjalankan tugasnya yakni menangkap tujuh nelayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia.
Fadel meminta kepada pemerintah untuk bersikap lebih tegas karena kalau terus-menerus seperti ini ia mengkhawatirkan tindakan Malaysia akan semakin meremehkan Indonesia.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen I Wayan Midhio mengatakan, pejabat di Kementerian Pertahanan bergaul banyak dengan pejabat di Kementerian Pertahanan maupun militer dari Malaysia.
“Setahu saya tidak ada pejabat militer Malaysia yang meremehkan Indonesia,” katanya.
Untuk menjaga pertahanan di wilayah perbatasan, kata dia, Kementerian Pertahanan melakukan kerja sama perthanan dengan Malaysia maupun dengan Singapura.
Insiden di Bintan, Kepulauan Riau yang melibatkan nelayan Malaysia, tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan serta pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya menunjukkan lemahnya pertahanan laut Indonesia.
” Kami minta kasus sengketa Malaysia jadi momentum membenahi pengelolaan wilayah perbatasan maritim” kata Mahfudz Sidik, Anggota Komisi Pertahanan DPR dalam diskusi di Jakarta, Sabtu 21 Agustus 2010.
Dalam diskusi itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui, pertahanan maritim Indonesia masih lemah. Ini karena kurangnya koordinasi antara satu pihak dengan lainnya. ” Dilihat dari yang berperan, harusnya lebih dari cukup. Tapi ini karena tak pernah ada kerjasama” kata Fadel.
Menurut Fadel, keamanan di laut Indonesia ditangani pasukan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Kemanan Laut, kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan petugas dari bea cukai. “Saya sudah lapor Presiden untuk ditata, agar kejadian dengan Malaysia kemarin tidak terjadi lagi dan tidak saling menyalahkan,” kata Fadel.
Nantinya pengamanan kawasan maritim, Fadel berharap ditangani Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan I Wayan Midhio mengakui perlu ada kesepakatan untuk mengatur keamanan laut. “UU-nya belum ada, perlu dirancang untuk kepastian pembagian penjagaan,” kata Dia. (antasari.net-antaranews-tempo).

Masih di tahun 2010, didalam sebuah laporan yang ditulis oleh Diandra Megaputri Mengko pada sebuah situs online Gagasan Hukum melaporkan bahwa, 
Insiden ‘pelanggaran’ wilayah perbatasan laut Indonesia-Malaysia yang terjadi di kawasan perairan Provinsi Kepulauan Riau sebenarnya sudah bukan yang pertama bagi Indonesia. Setiap tahunnya, Angkatan Laut Indonesia selalu melaporkan mengenai adanya ‘pelanggaran perbatasan’ yang dilakukan negara tetangga ini. Walaupun demikian, seharusnya dapat kita cermati kembali penggunaan kata ‘perbatasan’ dan ‘pelanggaran’. Kedua kata tersebut seharusnya ditempatkan kembali ke dalam posisi yang tepat dengan melihat aspek legal dan fakta di dunia serta kondisi di dalam negeri.
International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati negara-negara yang berbatasan. Walaupun banyak di antara pertentangan tersebut hanya berlangsung pada tataran diplomasi, tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk dan terekskalasi menjadi konflik bersenjata. Masalah perbatasan antarnegara merupakan ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional karena menyangkut kedaulatan yang sifatnya sering kali tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial ini tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.
UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) merupakan upaya dunia untuk menyatukan persepsi tentang penetapan batas laut beserta hak negara pantai pada setiap kawasannya. Kawasan ini dibagi menjadi kawasan laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Lebar wilayah dari setiap kawasan ini ditentukan secara maksimal pada konvensi ini (Contoh: maksimal 200 mil untuk penerapan zona ekonomi eksklusif). Penentuan lebar batas secara maksimal ini kerap dimanfaatkan negara-negara pantai untuk melakukan klaim wilayah secara maksimal pula. Apabila terdapat batas kurang dari yang telah ditentukan sebagaimana kesepakatan internasional, penyelesaiannya akan dilakukan melalui perundingan kedua belah pihak. Pada titik inilah permasalahan perbatasan menjadi kompleks, karena kerap ada negara-negara yang lebih memilih untuk tidak bersedia merundingkan, dan mengklaimnya secara sepihak.
Ketidakjelasan dalam perbatasan laut ini akan memperbesar peluang munculnya insiden-insiden konflik ‘pelanggaran perbatasan’ seperti yang sebelumnya sudah sering terjadi. Seperti pepatah yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat, melainkan juga adanya kesempatan. Bagaimana kita dapat bersepakat bahwa ada yang melanggar perbatasan apabila batas kedua negara pun belum ada?
Di dalam konteks perbatasan laut, Indonesia-Malaysia memiliki permasalahan perbatasan yang belum disepakati di empat kawasan. Yakni, Permasalahan klaim tumpang tindih wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Selat Malaka bagian utara (Peta sepihak Malaysia 1979), belum ditetapkannya garis laut teritorial di kawasan Selat Malaka bagian selatan, belum ditetapkannya wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Laut China Selatan, dan klaim Malaysia pada wilayah Ambalat di kawasan Laut Sulawesi (setelah Kasus Sipadan-Ligitan).
Kondisi ‘perbatasan tanpa batas’ yang sudah dibiarkan mengambang selama 65 tahun Indonesia merdeka ini akan terus menjadi bumerang bagi Indonesia dan Malaysia. Hal ini sudah tentu dapat menjadi potensi konflik yang besar bagi hubungan Indonesia dan Malaysia apabila tidak diselesaikan, terlebih berada di beberapa kawasan yang krusial karena keempat kawasan tersebut tidak saja terkait dengan permasalahan kedaulatan, tetapi juga nilai ekonomi seperti jalur perdagangan, perikanan, dan sumber daya alam.
Sementara itu bagi pihak Indonesia sendiri selalu berusaha menempatkan posisi lebih mengedepankan upaya diplomasi yang lebih dikenal dengan istilah ‘diplomasi serumpun’ dengan Malaysia. Sebelum berangkat lebih jauh, penulis berpendapat bahwa Indonesia tidaklah serumpun dengan Malaysia, karena Indonesia memiliki berbagai kelompok etnik dari Sabang sampai Merauke, yang cukup banyak tidak terkait dengan rumpun Malaysia. Dengan demikian, lebih tepat apabila kita sebut istilah ‘diplomasi serumpun’ menjadi upaya diplomasi saja yang dilakukan sebagai upaya penyesuaian, yakni penghindaran konflik senjata dengan Malaysia.
Malaysia kerap melakukan provokasi-provokasi yang mengarah kepada konflik fisik seperti yang terjadi pada kawasan Laut China Selatan dan Laut Sulawesi. Pada kondisi ini, Indonesia cenderung bersifat reaktif terhadap aksi-aksi mereka. Hal ini menunjukkan kelemahan Indonesia yaitu suatu kecenderungan bertindak setelah terjadinya suatu isu di kawasan. Padahal sebetulnya, setelah isu tersebut berkembang, penyelesaian permasalahan perbatasan akan semakin rumit.
Hal seperti ini sebetulnya dapat dihindari apabila Indonesia telah menyelesaikan permasalahan perbatasan sebelum suatu isu menjadi besar. Pun, apabila telah dilakukan jauh sebelumnya, peluang pencapaian kesepakatan dalam ruang negosiasi juga masih besar. Sudah sepatutnya Indonesia mulai memberikan konsentrasinya pada permasalahan perbatasannya sebagai ‘ancaman yang konstan terhadap kedaulatan’.
Upaya penyesuaian perbatasan dapat dimulai dari kawasan yang tidak atau kurang memiliki isu hangat, misalnya kawasan Selat Malaka bagian selatan, tempat Malaysia dan Indonesia masih terbuka untuk melakukan pembicaraan mengenai perbatasan wilayah ini karena isu-isu yang terkait masih sangatlah rendah.
Sikap Malaysia yang cenderung menunda-nunda pembicaraan permasalahan perbatasan pada kawasan lainnya pada akhirnya akan merugikan pihak Indonesia. Perlu kita cermati dengan seksama sesungguhnya alasan di balik penundaan yang dilakukan Malaysia ini.
Penggunaan instrumen diplomasi di dalam penyelesaian permasalahan perbatasan tidaklah cukup. Indonesia harus dapat melakukan upaya diplomasi total yang dikombinasikan dengan upaya secara politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun militer secara bersamaan untuk terus mendorong Malaysia agar mau mempercepat proses negosiasi perbatasan di antara kedua negara sebelum isu atau permasalahan lain berkembang dan kondisi semakin rumit.
Apabila sebelumnya ada pernyataan bahwa Indonesia tidak dapat ‘membayar’ kondisi perang dengan Malaysia karena akan menyebabkan perkembangan ekonomi Indonesia terhambat, pertanyaan selanjutnya apakah kita lebih memilih ‘membayar’ kondisi ketidakjelasan batas dengan harga insiden-insiden yang terjadi ?. (Media Indonesia, 31 Agustus 2010).


3.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 ini disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1985 yang ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto. Undang-undang tersebut terdiri atas 2 Pasal, yaitu :
1.      Mengesahkan United Nations Convention the Law Of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa inggeris dilampirkan pada Undang-undang ini ( Pasal 1 ).
2.      Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan ( Pasal 2 ).
Sama halnya dengan tujuan diselenggarakannya Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Indonesia meratifikasi United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCOLS III) ialah atas suatu keinginan dan ketekadan yang kuat untuk memperkokoh perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat antara semua bangsa sesuai dengan asas keadilan dan persamaan hak dan akan memajukan peningkatan ekonomi dan sosial segenap rakyat dunia, sesuai dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaiamana yang telah ditetapkan. Kemudian daripada itu secara khusus Indonesia meratifikasi UNCLOS III adalah sebagai suatu bentuk upaya untuk memperkuat, memperjelas, menjaga kekuasaan Indonesia atas kedaulatan wilayah lautnya.
Dengan Indonesia meratifikasi UNCLOS III, secara garis besar hal tersebut sangat bermanfaat dan memberikan lebih banyak dampak positif bagi Indonesia dalam hal penguasaan atas wilayah laut. Diantaranya yang sangat menguntungkan dari sisi Indonesia adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut menyebutkan bahwasanya konvensi ini ( Konvensi Hukum Laut PBB 1982) mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia pada akhirnya telah membuahkan hasil, yaitu berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional. Dimana pengakuan resmi asas Negara Kepulauan tersebut sangatlah penting bagi Indonesia dalam mewujudkan satu kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia telah berusaha memperjuangkan status Negara kepulauan sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, walaupun beberapa Negara sudah ada yang mengakui hal tersebut, namun pada waktu itu belumlah mendapatkan pengakuan secara resmi dari masyarakat internasional. Diperjuangkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang berwawasan nusantara untuk mewujudkan suatu kesatuan wilayah Indonesia, ialah satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Sehubungan dengan diakuinya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, maka otomatis perairan Indonesia yang dahulunya merupakan bahagian dari Laut Lepas kini menjadi wilayah perairan Indonesia, artinya kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya semakin luas dibandingkan sebelum ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, sehingga secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas total wilayah 7,9 Juta Kilometer Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi daratan dan 5,8 Juta Kilometer Persegi berupa Lautan. Bersamaan dengan semakin luasnya wilayah perairan Indonesia tersebut juga berdampak kepada keutuhan kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia, yaitu sebelumnya ada diantara wilayah Indonesia yang harus dipisahkan karena adanya laut lepas, tapi setelah Konvensi Hukum Laut 1982 disepakati dan wilayah perairan Indonesia semakin bertambah menyebabkan wilayah laut lepas tadi tidak ada lagi, akan tetapi bersatu menjadi satu kesatuan wilayah perairan Indonesia.
Dengan meratifikasi UNCLOS III kedalam peraturan perundang-undangan nasional membuat adanya kejelasan batas wilayah dari Negara Indonesia, sehingga dapat dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Kejelasan batas-batas perairan suatu negara dengan Negara-negara yang berbatasan langsung juga akan dapat membantu memperjelas fungsi pertahanan negara, yaitu menjaga kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena dengan meratifikasi UNCLOS 1982 merupakan sebagai bentuk langkah untuk mempertahankan kedaulatan Negara, karena mengingat bahwasanya Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar