1.
Polusi dari
tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi
fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh
masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di
sekitar pantai tersebut. Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan
dengan semakin meningkatnya permintaan minyak untuk dunia industri yang harus
diangkut dari sumbernya yang cukup jauh, meningkatnya jumlah anjungan –
anjungan pengeboran minyak lepas pantai. dan juga karena semakin meningkatnya
transportasi laut.
Berdasarkan PP
No.19/1999, pencemaran laut diartikan sebagai masuknya/ dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau
fungsinya (Pramudianto, 1999). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United
Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) mengartikan bahwa pencemaran
laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries)
yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merusak sumber daya hayati
laut (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan
terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar,
menurunkan kualitas air laut dan mutu kegunaan serta manfaatnya (Siahaan, 1989
dalam Misran, 2002
A. Sumber
Pencemaran Minyak di Laut
Menurut Pertamina
( 2002), Pencemaran minyak di laut berasal dari :
1. Ladang Minyak
Bawah Laut;
2. Operasi Kapal
Tanker;
3. Docking
(Perbaikan/Perawatan Kapal);
4. Terminal
Bongkar Muat Tengah Laut;
5. Tanki Ballast
dan Tanki Bahan Bakar;
6. Scrapping Kapal
(pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua);
7. Kecelakaan
Tanker (kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan);
8. Sumber di Darat
(minyak pelumas bekas, atau cairan yang mengandung hydrocarbon ( perkantoran
& industri );
9. Tempat
Pembersihan (dari limbah pembuangan Refinery )
B. Dampak
dari Pencemaran Minyak di Laut
Komponen minyak
yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air laut
berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam
sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen
hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan,
pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat
mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses
emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur,
larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada
lingkungan tercemar (Fakhrudin, 2004). Sumadhiharga (1995) dalam Misran (2002)
memaparkan bahwa dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut
adalah akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang.
1. Akibat
jangka pendek.
Molekul
hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan
keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai
jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya.
Secara langsung minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan
oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan
berbahaya.
2. Akibat
jangka panjang.
Lebih banyak
mengancam biota muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota laut.
Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian
lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini
dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan.
Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan
pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar,
hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
Secara tidak
langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks
dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.
Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang
bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan
menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam.
Menurut Fakhrudin (2004), lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas
dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada
tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.
- Perda Prov. Bali No. 6 Th 2009 tentang RPJPD Prov. Bali Th 2005-2025
Dalam
RPJPD, pemerintah daerah Bali tidak menempatkan isu lingkungan dalam arah
pembangunan daerahnya. Namun, dalam perda ini terdapat kajian mengenai sarana
dan prasarana untuk mendukung pembangunan bidang pariwisata dan
tantangannya sebagai berikut:
a.
Kondisi Umum Ekonomi Bidang Pariwisata
Selama
20 tahun terakhir, rata-rata jumlah kunjungan wisatawan mancanegara langsung ke
Bali per tahun selama kurun waktu 2000-2005 mencapai 1.386.448 orang dengan
jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2004 yakni sebanyak 1.457.565 orang.
Rata-rata tingkat hunian kamar berdasarkan klasifikasi hotel per tahun selama
lima tahun terakhir adalah 48,51%, di mana pada tahun 2005 untuk hotel bintang
satu sebesar 39,68%, hotel bintang dua sebesar 38,08%, hotel bintang tiga
sebesar 36,62%, hotel bintang empat sebesar 43,22%, dan hotel bintang lima
sebesar 49,14%.
b.
Sarana dan Prasarana Pengelolaan Limbah
Penanganan
air limbah dilakukan secara komunal dan sistem perpipaan. Sistem Pengelolaan
Air Limbah (SPAL) 20.210 unit dengan jumlah Instalasi Pengelolaan Limbah Terpadu
(IPLT) sebanyak 7 unit tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota. Pengelolaan air
limbah dengan sistem perpipaan melalui Denpasar Sewerage Development Project
(DSDP) dengan wilayah pelayanan meliputi Denpasar, Sanur dan Kuta serta
penanganan air limbah secara regional lainnya adalah IPAL Regional Ubud.
c.
Tantangan
·
Tantangan penanganan
air limbah 20 tahun kedepan adalah sistem penanganan secara terpusat pada
kawasan tertentu dengan jumlah penduduk padat serta kegiatan ekonomi tinggi
melalui sistem perpipaan. Tantangan lainnya adalah kesadaran masyarakat
terhadap penanganan limbah masih rendah.
·
Tantangan pengelolaan
persampahan 20 tahun kedepan di Provinsi Bali adalah meningkatnya volume sampah
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Penanganan sampah dengan TPA yang
representatif yang tidak berdampak terhadap pencemaran lingkungan, dilakukan
secara parsial dan harus terlaksananya 3R (reduce, reuse, recycle)
dengan baik dan masih sedikit masyarakat yang melakukan pengelolaan sampah
mandiri.
·
Tantangan pengelolaan
sumberdaya alam 20 tahun kedepan adalah pemanfaatan yang belum berbasis pada
pembangunan berkelanjutan yang mampu memberikan manfaat bagi pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat Bali. Tantangan dalam hal pencemaran media
lingkungan adalah meningkatnya akumulasi cemaran pada media air, tanah, dan
udara karena masih rendahnya kesadaran dan peran masyarakat, lemahnya
pengawasan serta penegakan hukum lingkungan terhadap pelaku pencemaran
lingkungan.
2.
Perda No.4 Th 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan
Lingkungan Hidup
Bab
I Pasal 2, disebutkan bahwa pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup berasaskan pelestarian fungsi lingkungan hidup dengan menjunjung tinggi
peranserta masyarakat dan nilai-nilai Tri Hita Karana, dan bertujuan untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran, kerusakan, serta memulihkan kualitas
lingkungan hidup.
Bab
III tentang Wewenang dan Tanggungjawab pada Pasal 8, disebutkan bahwa Gubernur
berwenang melakukan koordinasi dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup terhadap Bupati/Walikota terkait. Pada Bab VII tentang
Pengawasan disebutkan bahwa tugas pengawasan juga menjadi amanah Gubernur
mencakup pemantauan penataan persyaratan perizinan dan pemeriksaan contoh
limbah dan spesimen secara berkala dan insidental baik di lapangan maupun di
laboratorium. Biaya-biaya pemeriksaan laboratorium terhadap contoh limbah
dibebankan kepada :
·
Penanggungjawab Usaha
sebagai kewajiban untuk pemeriksanaan secara berkala sesuai dokumen lingkungan
hidup;
·
Anggaran pendapatan
dan belanja Daerah atau sumber-sumber dana lain yang sah untuk pemeriksanaan
yang dilakukan oleh Instansi
Bab
IV tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup Pasal 12,
disebutkan bahwa Setiap Penanggungjawab Usaha dilarang membuang limbah ke media
lingkungan hidup tanpa izin dari Gubernur, dan izin sebagaimana dimaksud harus
memuat persyaratan untuk melakukan upaya pengendalian pencematan dan perusakan
lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 13 disebutkan bahwa Setiap Penanggung
jawab Usaha yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah
sesuai dengan peraturan perundnag – undangan yang berlaku. Pasal 14
kemudian menjelaskan bahwa setiap Penanggung jawab Usaha yang kegiatannya
mengandung potensi limbah yang mencemari dan merusak lingkungan harus
menyediakan dana lingkungan, dan besaran dana lingkungan diatur dengan
Peraturan Gubernur setelah mendapat Rekomendasi DPRD.
Bab V pasal 15 menentukan bahwa Setiap Penanggungjawab Usaha yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagai akibat pembuangan limbah wajib (a). memiliki sistem tanggap darurat; (b). memberikan informasi tentang sistem tanggap darurat kepada pemberi izin dan masyarakat luas; dan (c). melakukan upaya penanggulangan.
Bab V pasal 15 menentukan bahwa Setiap Penanggungjawab Usaha yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sebagai akibat pembuangan limbah wajib (a). memiliki sistem tanggap darurat; (b). memberikan informasi tentang sistem tanggap darurat kepada pemberi izin dan masyarakat luas; dan (c). melakukan upaya penanggulangan.
Bab
VI pasal 17 menyebutkan bahwa Penangungjwab jawab Usaha wajib menanggung biaya
penanggulangan dana/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
Bab
X tentang Ketentuan Pidana disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar
ketentuan pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal, 15, pasal 17,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana
dimaksud adalah pelanggaran.
2.
Lapisan minyak
yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut , lamun
dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat
mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain
itu juga akan menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di
permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik,
sehingga rantai makanan yang berawal pada phytoplankton akan terputus Jika
lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat, selain akan mematikan
organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada tumbuhan laut yang
ada.
Pencemaran minyak
di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh terhadap
sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana
akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang.
Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan
pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut.
Tumpahan minyak juga akan menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup
berasosiasi dengan hutam mangrove seperti moluska, kepiting, ikan, udang, dan
biota lainnya.
Bukti-bukti di
lapangan menunjukkan bahwa minyak yang terperangkap di dalam habitat berlumpur
tetap mempunyai pengaruh racun selama 20 tahun setelah pencemaran terjadi.
Komunitas dominan species Rhizophora mungkin bisa membutuhkan waktu sekitar 8
(delapan ) tahun untuk mengembalikan kondisinya seperti semula (O'Sullivan
& Jacques, 2001 ).
Ekosistim terumbu
karang juga tidak luput dari pengaruh pencemaran minyak . Menurut O'Sullivan
& Jacques (2001), jika terjadi kontak secara langsung antara terumbu karang
dengan minyak maka akan terjadi kematian terumbu karang yang meluas. Akibat
jangka panjang yang paling potensial dan paling berbahaya adalah jika minyak
masuk ke dalam sedimen. Burung laut merupakan komponen kehidupan pantai yang
langsung dapat dilihat dan sangat terpengaruh akibat tumpahan minyak . Akibat
yang paling nyata pada burung laut adalah terjadinya penyakit fisik (Pertamina,
2002). Minyak yang mengapung terutama sekali amat berbahaya bagi kehidupan
burung laut yang suka berenang di atas permukaan air, seperti auk (sejenis
burung laut yang hidup di daerah subtropik), burung camar dan guillemot ( jenis
burung laut kutub).
Tubuh burung ini
akan tertutup oleh minyak, kemudian dalam usahanya membersihkan tubuh mereka
dari minyak, mereka biasanya akan menjilat bulu-bulunya, akibatnya mereka
banyak minum minyak dan akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan
minyak yang menempel pada bulu burung, maka burung akan kehilangan kemampuan
untuk mengisolasi temperatur sekitar ( kehilangan daya sekat), sehingga
menyebabkan hilangnya panas tubuh burung, yang jika terjadi secara
terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan nafsu makan dan
penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.
Peristiwa yang
sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa pecahnya
kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar
10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi
oleh genangan minyak ( Farb, 1980 ). Pembuangan air ballast di Alaska sekitar
Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan
diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989 dalam
Misran 2002). .
Menyadari akan
besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka timbullah upaya-upaya untuk
pencegahan dan penanggulangan bahaya tersebut oleh negara-negara di dunia.
Diakui bahwa prosedur penanggulangan seperti: pemberitahuan bencana, evaluasi
strategi penanggulangan, partisipasi unsur terkait termasuk masyarakat, teknis
penanggulangan, komunikasi, koordinasi dan kesungguhan untuk melindungi laut
dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat menjadi poin utama dalam
pencegahan dan penanggulangan pencemaran minyak. Untuk melakukan hal tersebut,
tiga hal yang dapat dijadikan landasan yaitu aspek legalitas, aspek
perlengkapan dan aspek koordinasi.
Sejak September
2003 Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai dan Laut
(GBPL). Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk
mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah
mengalami pencemaran. Dengan gerakan ini diharapkan bukan hanya didukung oleh
pemerintah dan masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan
gas bumi yang beroperasi di Indonesia.
[KFBAS/V/berbagai
sumber]
4.
Perbatasan Indonesia dan Contoh Permasalahan yang Dihadapi
SalaIndonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai
sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik
perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik
Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea
(PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat
Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik
perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya
baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya.
Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia,
Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa
pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif
karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.h Satu Contoh Permasalahan yang Dihadapi
Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan
satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sek
Salah Satu Contoh Permasalahan yang Dihadapi
Berbicara soal batas wilayah yang memisahkan
satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan yang sangat konflek sekali. Tidak jarang hanpir disetiap negara sering terjadi
konflik antar negara lebih banyak terpokus pada persoalan perbatasan.
Di Indonesia sendiri
soal perbatasan antar wilayah batas negara dengan negara tetangga lainnya
hingga sekarang masih belum terselesaikan dengan tuntas. Pesoalan perbatasan di
Indonesia dengan negara-negara tetangganya sering kali terjadi kesalahpahaman,
dan hal itu sering terjadi pelanggaran yang banyak dilanggar oleh negara-negara
tetangga, seperti batas wilayah perbatasan antara Indonesia Malaysia, Indonesia
Singapura, Indonesia Philipina, Indonesia Papuanugini, Indonesia Timor Leste,
dan Indonesia Australia.
Pelanggaran perbatasan
batas suatu negara sering terjadi dilakukan oleh tingkah laku politik
berkepentingan oleh salah satu negara perbatasan yang melibatkan warga
masyarakat di perbatasan, militer dan perubahan peta perbatasan yang sepihak
oleh negara yang menginginkan suatu perluasan wilayah yang banyak memiliki
kandungan sumber alam.
Di Indonesia sendiri
hal tersebut diatas sering terjadi semacam itu, dan biasanya selalu dimulai
dengan provokasi ganda yang dilakukan oleh negara tetangganya. Baik dengan cara
penyerobotan batas wilayah perbatasan dengan invansi militer, penghilangan
tanda bukti batas perbatasan, pembangunan ilegal sebuah bangunan atau kawasan
yang dibangun melebihi batas negara yang telah disepakati, atau juga adanya
perubahan peta perbatasan yang sepihak yang dilakukan oleh negara
bersangkutan (salah satu negara tetangga yang berkeinginan untuk
memperluas wilayah teritorialnya dengan melakukan perubahan peta internasional
soal tanda batas garis perbatasan wilayah negara secara ilegal dan sepihak).
Malaysia Pelanggar
Perbatasan Indonesia Terbanyak:
Ditahun 2008 - 2009,
pelanggaran perbatasan nagara Indonesia dengan negara tetangganya sering banyak
dilanggar oleh Malaysia. Ini terbukti dengan adanya pelanggaran perbatasan
wilayah negara masih terus dilakukan oleh negara tetangga. Malaysia yang paling
sering melakukan pelanggaran batas wilayah RI.
Hal itu terungkap
pada rapat kerja (raker) Komisi I dengan menteri-menteri di jajaran Politik,
Hukum dan Keamanan (Polhukam), di Jakarta, Senin (2 Maret 2009).
Menkopolhukam Widodo AS (pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono periode I) itu memaparkan tentang berbagai pelanggaran terhadap
wilayah RI yang terjadi dalam kurun waktu Januari hingga Desember 2008.
Dari catatan
Kementrian Polhukam, Provinsi Kalimantan Timur adalah wilayah RI yang paling
sering mengalami pelanggaran wilayah oleh negara lain. Untuk pelanggaran
wilayah perbatasan perairan Indonesia, di perairan Kalimantan Timur dan seputar
Laut Sulawesi telah terjadi 21 kali pelanggaran oleh Kapal Perang Malaysia dan
enam kali oleh Kapal Polisi Maritim Malaysia.
Sementara di perairan
lainnya sebanyak tiga kali, ucapnya. Dalam raker yang juga dihadiri Menteri
Pertahanan, Kepala BIN, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri itu, Widodo
mengungkapkan, pelanggaran wilayah perbatasn udara paling banyak terjadi juga
di wilayah Kalimantan Timur.
Selama 2008, terjadi
16 kali pelanggaran wilayah udara di Kaltim, sebutnya. wilayah lain yang juga
mengalami pelanggaran kedaulatan udara antara lain tiga kali di Papua, dua kali
di wilayah Selat Malaka dan tujuh kali di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sementara untuk
pelanggaran wilayah darat, diantaranya berupa pemindahan patok-patok batas
wilayah di Kalimantan Barat. Pemindahan patok batas terjadi di Sektro Tengah,
Utara Gunung Mumbau, Taman Nasional Betung Kerihun, Kecamatan Putu Sibau, serta
Kabupaten Kapuas Hulu, kata Widodo. Selain itu, mantan Panglima TNI ini
melanjutkan, pelanggaran wilayah perbatasan darat juga dilakukan oleh para
pelintas batas yang tidak memiliki dokumen yang sah.
Pada raker yang
dipimpin Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga itu, Widodo juga menjelaskan
perihal berbagai tindakan atas pelanggaran kedaulatan wilayah RI. Untuk pelanggaran
wilayah darat, Departeman Luar Negeri RI telah mengirimkan sejumlah nota protes
ke negara pelanggar. Kasus pelanggaran wilayah darat juga dibawa ke forum
Genera Border Committe (GBC) Indonesia-Malaysia maupun Joint Border Committe
(JBC) Indonesia-Papua Nugini. Dan untuk pelanggaran wilayah perairan dan udara
nasional, telah direspon dengan pengusiran langsung oleh satuan operasional
TNI, serta pengiriman nota protes oleh Deplu, tutur Widodo. (beritahankam).
Ditahun 2010, tepatnya
di bulan Agustus 2010 yaitu sebanyak tiga orang petugas dari KKP ditangkap oleh
polisi perairan Malaysia setelah menangkap tujuh nalayan Malaysia yang ketahuan
menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Tiga orang petugas dari KKP
kemudian ditahan di Malaysia dan mereka dibebaskan
dengan cara diberter dengan tujuh nelayan Malaysia.
Dalam peristiwa ini
spontan mendapat banyak protes dari waga negara Indonesia, dan termasuk protes
keras dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap pemerintahan
Malaysia.
Menteri Kelautan dan
Perikanan Indonesia Fadel Muhammad mengatakan Malaysia meremehkan Indonesia
dengan memperlakukan tiga petugas dari kementeriannya yang ditangkap
polisi air Malaysia kurang layak.
“Tiga orang petugas
dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang ditangkap polisi air
Malaysia ditahan dikantor polisi Malaysia, dipakaikan pakaian tahanan, dan pada
saat keluar ruangan tangannya diborgol,” kata Fadel Muhammad pada diskusi
polemik “Indonesia-Malaysia: Serumpun tapi Tidak Rukun” di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia,
perlakuan polisi Malaysia itu meremehkan Indonesia. Apalagi tiga orang tersebut
adalah petugas resmi yang ditangkap saat menjalankan tugasnya yakni menangkap
tujuh nelayan Malaysia yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan
Indonesia.
Fadel meminta kepada
pemerintah untuk bersikap lebih tegas karena kalau terus-menerus seperti ini ia
mengkhawatirkan tindakan Malaysia akan semakin meremehkan Indonesia.
Sementara itu, Kepala
Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen I Wayan Midhio mengatakan, pejabat di
Kementerian Pertahanan bergaul banyak dengan pejabat di Kementerian Pertahanan
maupun militer dari Malaysia.
“Setahu saya tidak
ada pejabat militer Malaysia yang meremehkan Indonesia,” katanya.
Untuk menjaga pertahanan
di wilayah perbatasan, kata dia, Kementerian Pertahanan melakukan kerja sama
perthanan dengan Malaysia maupun dengan Singapura.
Insiden di Bintan,
Kepulauan Riau yang melibatkan nelayan Malaysia, tiga petugas Dinas Kelautan
dan Perikanan serta pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya menunjukkan
lemahnya pertahanan laut Indonesia.
” Kami minta kasus
sengketa Malaysia jadi momentum membenahi pengelolaan wilayah perbatasan
maritim” kata Mahfudz Sidik, Anggota Komisi Pertahanan DPR dalam diskusi di Jakarta,
Sabtu 21 Agustus 2010.
Dalam diskusi itu,
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengakui, pertahanan maritim
Indonesia masih lemah. Ini karena kurangnya koordinasi antara satu pihak dengan
lainnya. ” Dilihat dari yang berperan, harusnya lebih dari cukup. Tapi ini
karena tak pernah ada kerjasama” kata Fadel.
Menurut Fadel,
keamanan di laut Indonesia ditangani pasukan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Badan Koordinasi Kemanan Laut, kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan
petugas dari bea cukai. “Saya sudah lapor Presiden untuk ditata, agar kejadian
dengan Malaysia kemarin tidak terjadi lagi dan tidak saling menyalahkan,” kata
Fadel.
Nantinya pengamanan
kawasan maritim, Fadel berharap ditangani Kementerian Politik, Hukum dan
Keamanan.
Juru Bicara
Kementerian Pertahanan I Wayan Midhio mengakui perlu ada kesepakatan untuk
mengatur keamanan laut. “UU-nya belum ada, perlu dirancang untuk kepastian
pembagian penjagaan,” kata Dia. (antasari.net-antaranews-tempo).
Masih di tahun
2010, didalam sebuah laporan yang ditulis oleh Diandra Megaputri
Mengko pada sebuah situs online Gagasan Hukum melaporkan bahwa,
Insiden ‘pelanggaran’
wilayah perbatasan laut Indonesia-Malaysia yang terjadi di kawasan perairan
Provinsi Kepulauan Riau sebenarnya sudah bukan yang pertama bagi Indonesia.
Setiap tahunnya, Angkatan Laut Indonesia selalu melaporkan mengenai adanya
‘pelanggaran perbatasan’ yang dilakukan negara tetangga ini. Walaupun demikian,
seharusnya dapat kita cermati kembali penggunaan kata ‘perbatasan’ dan ‘pelanggaran’.
Kedua kata tersebut seharusnya ditempatkan kembali ke dalam posisi yang tepat
dengan melihat aspek legal dan fakta di dunia serta kondisi di dalam negeri.
International
Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa
dewasa ini masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum
disepakati negara-negara yang berbatasan. Walaupun banyak di antara
pertentangan tersebut hanya berlangsung pada tataran diplomasi, tidak tertutup
kemungkinan hal itu memburuk dan terekskalasi menjadi konflik bersenjata.
Masalah perbatasan antarnegara merupakan ancaman yang konstan bagi perdamaian
dan keamanan internasional karena menyangkut kedaulatan yang sifatnya sering
kali tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial ini
tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.
UNCLOS 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea) merupakan upaya dunia untuk
menyatukan persepsi tentang penetapan batas laut beserta hak negara pantai pada
setiap kawasannya. Kawasan ini dibagi menjadi kawasan laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Lebar wilayah dari
setiap kawasan ini ditentukan secara maksimal pada konvensi ini (Contoh:
maksimal 200 mil untuk penerapan zona ekonomi eksklusif). Penentuan lebar batas
secara maksimal ini kerap dimanfaatkan negara-negara pantai untuk melakukan
klaim wilayah secara maksimal pula. Apabila terdapat batas kurang dari yang
telah ditentukan sebagaimana kesepakatan internasional, penyelesaiannya akan
dilakukan melalui perundingan kedua belah pihak. Pada titik inilah permasalahan
perbatasan menjadi kompleks, karena kerap ada negara-negara yang lebih memilih
untuk tidak bersedia merundingkan, dan mengklaimnya secara sepihak.
Ketidakjelasan dalam
perbatasan laut ini akan memperbesar peluang munculnya insiden-insiden konflik
‘pelanggaran perbatasan’ seperti yang sebelumnya sudah sering terjadi. Seperti
pepatah yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat,
melainkan juga adanya kesempatan. Bagaimana kita dapat bersepakat bahwa ada
yang melanggar perbatasan apabila batas kedua negara pun belum ada?
Di dalam konteks
perbatasan laut, Indonesia-Malaysia memiliki permasalahan perbatasan yang belum
disepakati di empat kawasan. Yakni, Permasalahan klaim tumpang tindih wilayah
zona ekonomi eksklusif di kawasan Selat Malaka bagian utara (Peta sepihak
Malaysia 1979), belum ditetapkannya garis laut teritorial di kawasan Selat
Malaka bagian selatan, belum ditetapkannya wilayah zona ekonomi eksklusif di
kawasan Laut China Selatan, dan klaim Malaysia pada wilayah Ambalat di kawasan
Laut Sulawesi (setelah Kasus Sipadan-Ligitan).
Kondisi ‘perbatasan
tanpa batas’ yang sudah dibiarkan mengambang selama 65 tahun Indonesia merdeka
ini akan terus menjadi bumerang bagi Indonesia dan Malaysia. Hal ini sudah
tentu dapat menjadi potensi konflik yang besar bagi hubungan Indonesia dan
Malaysia apabila tidak diselesaikan, terlebih berada di beberapa kawasan yang
krusial karena keempat kawasan tersebut tidak saja terkait dengan permasalahan
kedaulatan, tetapi juga nilai ekonomi seperti jalur perdagangan, perikanan, dan
sumber daya alam.
Sementara itu bagi
pihak Indonesia sendiri selalu berusaha menempatkan posisi lebih mengedepankan
upaya diplomasi yang lebih dikenal dengan istilah ‘diplomasi serumpun’ dengan
Malaysia. Sebelum berangkat lebih jauh, penulis berpendapat bahwa Indonesia
tidaklah serumpun dengan Malaysia, karena Indonesia memiliki berbagai kelompok
etnik dari Sabang sampai Merauke, yang cukup banyak tidak terkait dengan rumpun
Malaysia. Dengan demikian, lebih tepat apabila kita sebut istilah ‘diplomasi
serumpun’ menjadi upaya diplomasi saja yang dilakukan sebagai upaya
penyesuaian, yakni penghindaran konflik senjata dengan Malaysia.
Malaysia kerap
melakukan provokasi-provokasi yang mengarah kepada konflik fisik seperti yang
terjadi pada kawasan Laut China Selatan dan Laut Sulawesi. Pada kondisi ini,
Indonesia cenderung bersifat reaktif terhadap aksi-aksi mereka. Hal ini
menunjukkan kelemahan Indonesia yaitu suatu kecenderungan bertindak setelah
terjadinya suatu isu di kawasan. Padahal sebetulnya, setelah isu tersebut
berkembang, penyelesaian permasalahan perbatasan akan semakin rumit.
Hal seperti ini
sebetulnya dapat dihindari apabila Indonesia telah menyelesaikan permasalahan
perbatasan sebelum suatu isu menjadi besar. Pun, apabila telah dilakukan jauh
sebelumnya, peluang pencapaian kesepakatan dalam ruang negosiasi juga masih
besar. Sudah sepatutnya Indonesia mulai memberikan konsentrasinya pada
permasalahan perbatasannya sebagai ‘ancaman yang konstan terhadap kedaulatan’.
Upaya penyesuaian
perbatasan dapat dimulai dari kawasan yang tidak atau kurang memiliki isu
hangat, misalnya kawasan Selat Malaka bagian selatan, tempat Malaysia dan
Indonesia masih terbuka untuk melakukan pembicaraan mengenai perbatasan wilayah
ini karena isu-isu yang terkait masih sangatlah rendah.
Sikap Malaysia yang
cenderung menunda-nunda pembicaraan permasalahan perbatasan pada kawasan
lainnya pada akhirnya akan merugikan pihak Indonesia. Perlu kita cermati dengan
seksama sesungguhnya alasan di balik penundaan yang dilakukan Malaysia ini.
Penggunaan instrumen
diplomasi di dalam penyelesaian permasalahan perbatasan tidaklah cukup.
Indonesia harus dapat melakukan upaya diplomasi total yang dikombinasikan
dengan upaya secara politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun militer secara
bersamaan untuk terus mendorong Malaysia agar mau mempercepat proses negosiasi
perbatasan di antara kedua negara sebelum isu atau permasalahan lain berkembang
dan kondisi semakin rumit.
Apabila sebelumnya
ada pernyataan bahwa Indonesia tidak dapat ‘membayar’ kondisi perang dengan
Malaysia karena akan menyebabkan perkembangan ekonomi Indonesia terhambat,
pertanyaan selanjutnya apakah kita lebih memilih ‘membayar’ kondisi
ketidakjelasan batas dengan harga insiden-insiden yang terjadi ?. (Media
Indonesia, 31 Agustus 2010).
3.
Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1985 ini disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1985 yang
ditandatangani langsung oleh Presiden Soeharto. Undang-undang tersebut terdiri
atas 2 Pasal, yaitu :
1. Mengesahkan United Nations
Convention the Law Of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut), yang salinan naskah aslinya dalam bahasa inggeris dilampirkan pada
Undang-undang ini ( Pasal 1 ).
2.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan ( Pasal 2 ).
Sama
halnya dengan tujuan diselenggarakannya Konvensi Hukum Laut PBB 1982, Indonesia
meratifikasi United Nations Convention On
The Law Of The Sea (UNCOLS III) ialah atas suatu keinginan dan ketekadan
yang kuat untuk memperkokoh perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan
bersahabat antara semua bangsa sesuai dengan asas keadilan dan persamaan hak
dan akan memajukan peningkatan ekonomi dan sosial segenap rakyat dunia, sesuai
dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaiamana yang telah
ditetapkan. Kemudian daripada itu secara khusus Indonesia meratifikasi UNCLOS
III adalah sebagai suatu bentuk upaya untuk memperkuat, memperjelas, menjaga
kekuasaan Indonesia atas kedaulatan wilayah lautnya.
Dengan
Indonesia meratifikasi UNCLOS III, secara garis besar hal tersebut sangat
bermanfaat dan memberikan lebih banyak dampak positif bagi Indonesia dalam hal
penguasaan atas wilayah laut. Diantaranya yang sangat menguntungkan dari sisi
Indonesia adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam penjelasan umum
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tersebut menyebutkan bahwasanya konvensi ini
( Konvensi Hukum Laut PBB 1982) mempunyai arti yang sangat penting bagi Bangsa
dan Negara Republik Indonesia karena untuk pertama kalinya asas Negara
Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan
oleh Indonesia pada akhirnya telah membuahkan hasil, yaitu berhasil memperoleh
pengakuan resmi masyarakat internasional. Dimana pengakuan resmi asas Negara
Kepulauan tersebut sangatlah penting bagi Indonesia dalam mewujudkan satu
kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia telah berusaha memperjuangkan
status Negara kepulauan sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, walaupun
beberapa Negara sudah ada yang mengakui hal tersebut, namun pada waktu itu
belumlah mendapatkan pengakuan secara resmi dari masyarakat internasional.
Diperjuangkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang berwawasan nusantara
untuk mewujudkan suatu kesatuan wilayah Indonesia, ialah satu kesatuan politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
Sehubungan
dengan diakuinya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, maka otomatis perairan
Indonesia yang dahulunya merupakan bahagian dari Laut Lepas kini menjadi
wilayah perairan Indonesia, artinya kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya
semakin luas dibandingkan sebelum ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982. Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau
dan garis pantai sepanjang 95.181 km, sehingga secara geografis Indonesia
merupakan negara maritim, yang memiliki luas total wilayah 7,9 Juta Kilometer
Persegi, yang terdiri atas 1,9 Juta Kilometer Persegi daratan dan 5,8 Juta
Kilometer Persegi berupa Lautan. Bersamaan dengan semakin luasnya wilayah
perairan Indonesia tersebut juga berdampak kepada keutuhan kesatuan wilayah
Negara Republik Indonesia, yaitu sebelumnya ada diantara wilayah Indonesia yang
harus dipisahkan karena adanya laut lepas, tapi setelah Konvensi Hukum Laut
1982 disepakati dan wilayah perairan Indonesia semakin bertambah menyebabkan
wilayah laut lepas tadi tidak ada lagi, akan tetapi bersatu menjadi satu
kesatuan wilayah perairan Indonesia.
Dengan
meratifikasi UNCLOS III kedalam peraturan perundang-undangan nasional membuat
adanya kejelasan batas wilayah dari Negara Indonesia, sehingga dapat dijadikan
alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Kejelasan
batas-batas perairan suatu negara dengan Negara-negara yang berbatasan langsung
juga akan dapat membantu memperjelas fungsi pertahanan negara, yaitu menjaga
kemungkinan serangan atau penyusupan dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Karena dengan meratifikasi UNCLOS 1982 merupakan sebagai
bentuk langkah untuk mempertahankan kedaulatan Negara, karena mengingat
bahwasanya Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar